Rabu, 30 September 2009

KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketua KPK adalah Antasari Azhar (Non Aktif),Saat ini KPK dipimpin secara kolektif.


Orde Lama

[sunting] Kabinet Djuanda

Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

[sunting] Operasi Budhi

Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.

Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.


[sunting] Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

[sunting] Era Reformasi

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.[1]


KPK dalam bahaya! Belakangan ini muncul keprihatinan mengenai masa depan eksistensi lembaga yang lahir dari semangat mewujudkan pemerintahan bersih bebas dari korupsi. Karena KPK saat ini menghadapi dua bahaya besar yang sedang mengancam, yaitu bahaya kemungkinan semakin berkurangnya kewenangan KPK atau skenario terburuk yang mengharuskan KPK harus bubar jalan. Apakah KPK memang sudah tidak dibutuhkan lagi? Hadir di Wimar Live edisi ini pelaku hukum dan salah seorang anggota tim advokasi pembela KPK Dr. Luhut M Pangaribuan.

KPK yang lahir sebagai sebuah keharusan dari semangat reformasi memang diberi wewenang untuk melakukan pendekatan yang tidak biasa (extraordinary) terhadap perkara korupsi. Menurut Luhut, saat ini sedang terjadi dua pengingkaran terhadap semangat itu, yaitu pemeriksaan pimpinan KPK oleh kepolisian dan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor yang berarah melemahkan wewenang KPK.

Luhut berpendapat bahwa penyelidikan polisi ini kurang bertanggung jawab karena mengarah kepada upaya deligitimasi eksistensi lembaga KPK. Misalnya ketika Polri mempersoalkan kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap tersangka korupsi Anggoro dan Djoko Tjandra, yang pada hari ini membuahkan status tersangka kepada dua pimpinan KPK. ”Agak aneh, kok mempertanyakan kewenangan penyidik lain? Padahal konsep hukum kita tidak diperkenankan mempertanyakan kewenangan penyidik sampai di pengadilan”, ujar Luhut.

Sementara upaya arus balik perlawanan terhadap eksistensi KPK juga terlihat pada pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Dalam pembahasan RUU yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah ini, terdapat beberapa keganjilan misalnya pada komposisi hakim ad hoc. Komposisi hakim ad hoc yang selama ini menjadi andalan dalam mengganjar koruptor di pengadilan koruptor berjumlah mayoritas, yaitu 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir.

Dalam RUU yang baru ini menurut Luhut, komposisi hakim di pengadilan Tipikor diserahkan sepenuhnya kepada Ketua Pengadilan Negeri. Padahal selama ini kepercayaan publik kepada institusi kehakiman karir masih sangat rendah, apalagi dalam hal upaya pemberantasan korupsi.

Jika kasus korupsi diserahkan sepenuhnya ke hakim karir, maka dikhawatirkan akan terjadi kemunduran di bidang pemutusan perkara korupsi. Karena selama ini, dengan komposisi mayoritas hakim ad hoc, pengadilan Tipikor bergigi untuk menjebloskan koruptor ke penjara.

Begitupun juga dengan klausul yang menghapuskan wewenang KPK untuk melakukan penuntutan. Bagi Luhut, di saat kondisi yang masih memerlukan nesesitas seperti sekarang ini penghapusan wewenang penuntutan KPK bukan tindakan yang tepat. ”Ini secara sistematis akan mempreteli kewenangan KPK”, ujarnya.

Namun yang paling berbahaya adalah ancaman bubarnya pengadilan Tipikor dan KPK, jika dalam periode ini DPR tidak merampungkan UU Tipikor atau Presiden tak mengeluarkan Perpu. Karena secara hukum KPK hanya bisa melimpahkan perkara ke pengadilan Tipikor. ” Kalau pengadilan Tipikor tidak ada, maka otomatis KPK juga tidak eksis lagi”, ujar mantan pembela hukum kasus Buloggate Presiden Wahid ini.

Sementara itu Mahkamah Konstitusi mengamanatkan sampai akhir tahun ini UU Pengadilan Tipikor harus sudah diketok. Jika tidak, maka pengadilan perkara korupsi akan kembali ditangani hakim karir di peradilan umum. Artinya? Jelas kemunduran yang luar biasa bagi pemberantasan korupsi.